Jamu...Jamu..



Wati namanya. Penjual jamu gendong yang sudah 5 tahun berjualan jamu gendong di Jakarta. Wajahnya cukup manis, kulitnya sawo matang. Subuh2 dia sudah bangun, meracik jamu, kemudian berkeliling dari kampung2 ke kampong, dari jalan ke jalan menjajakan jamu gendongnya.
 “Berapa Mbak..,” tanyaku setelah minum jamu buatannya. Cukup enak dan menyegarkan rasanya. “
Rp.2.000,- aja Mas” katanya.
Iseng2 aku tanya2.. “Namanya siapa Mbak”, 
“Wati” jawabnya sambil tersenyum.. Manis juga juga senyumnya.
 “Punya suami mbak”, tanyaku lagi., 
“Suami kerja di Tangerang, saya baru nikah 3 bulan”. 
“kenapa nggak ikut suami mbak” tanyaku lagi., ada sedikit kecewa juga aku, mendengar pengakuannya., jujur, melihat wajahnya yang manis, aku naksir juga lho.. 
“Dia kerja di pabrik, paling seminggu sekali ketemu..” jawabnya lagi. 
“Pengantin baru koq misah2 sih.’ Kataku.
“Biarin lah mas, buat bantu2 suami.” Katanya., “yang penting kan bisa ketemu” lanjutnya. 
“Saya permisi dulu mas” katanya setelah mencuci gelas yang habis aku minum., 
“O ya silahkan Mbak”. Wati si penjual jamu yang manis itu pun pergi. Mataku masih memandangi langkahnya yang gemulai dengan gendongan jamu dibelakangnya, sampai kemudian hilang di tikungan jalan. 
“Wati... Wati.., ayune rek” gumamku…
Ada lagi cerita lain, ketika aku minum jamunya, Mbak Yuni. Yang biasa melayani supir2 truk. Biasanya tukang jamu paling berharap dengan rezeki supir truk. Mereka malah menjadi seperti langganan tetap. Benar saja. Aku menemukannya sedang memberikan segelas jamu kepada salah seorang supir truk. Akupun memesan jamu anti masuk angin, dicampur telur bebek, cairan brotowali yang amat pahit dan sedikit pemanis.
“Ndak sekalian pake urat madu, mas?” tanyanya dengan gaya bicara Jawa yang lemah lembut.
“Urat madu? apa itu?” aku benar-benar tak mengerti. Dalam kepalaku ketika mendengarnya adalah urat dari cairan madu. Tapi benakku sendiri menolak, masak sih madu ada uratnya…
“Ini lho, kapsul urat madu. Bisa bikin kuat dan tahan lama.”
“Bisa buat charger hape, dong!” candaku.
“Bukan buat hape, tapi buat begini, lho!” ia mengepalkan tangannya. Ibu jarinya dijepit antara jari telunjuk dan jari tengah. Lalu ia menjelaskan tentang khasiat kapsul tersebut sekali lagi, mulai dari A sampai Z. mulai dari urusan ereksi sampai durasi. “Murah, mas. Cuma 25 ribu perbungkus. Isinya 2 kapsul.” Begitu akhir penjelasannya.
“Memang kapsul seperti itu banyak peminatnya?” tanyaku kepada mbak Yuni yang menyimpan kembali sebungkus kapsul urat madu karena mengerti kalau aku tak berminat.
“Banyak juga. Biasanya supir yang suka pesan.”
“Suka digodain nggak, mbak?”
“Ya sering”
“Dilayani nggak?”
“Kadang dilayani, ya kadang ndak. Lha namanya juga orang jualan.” Ia menceritakan pula pengalaman teman-teman seprofesinya yang kadang tak bisa menolak ketika dipaksa kencan oleh lelaki yang birahinya sudah diujung kepala. Tapi baginya, kalau hanya sekedar bercengkrama saja, tak masalah.
“Sudah berkeluarga, mbak?” kupotong ceritanya karena kurang tertarik untuk membahasnya.
“Suami saya di Jawa jadi petani. Anak saya baru 1, baru masuk SMP.” Lalu mbak Yuni berkisah tentang kehidupannya dengan suami dan anaknya ketika ia masih di Solo.
“Tiap bulan pulang, mbak?”
 “Tidak setiap bulan, mas.”
“Lho, katanya kangen. Koq tidak setiap bulan?” tanyaku.
“Mas ini nggak ngerti nasib orang kecil.” Sanggahnya.
“Maksudnya bagaimana, mbak? Saya benar-benar nggak ngerti koq.” Ungkapku.
“Penghasilan tukang jamu, ndak besar, mas. Dari pada saya pulang setiap bulan, mendingan uangnya saja yang dikirim ke kampung.” Begitu penjelasannya.
“Oh, begitu… saya mengerti, mbak.” Sahutku. Dan iapun tersenyum.
“Uangnya dikirim pake wesel atau ditrasfer lewat bank?” tanyaku lagi.
“Hihihi… si mas ini, saya ndak punya bank, mas!” maksudnya pasti tidak punya account di bank.
“Berarti pakai wesel ya, mbak?”
“Ndak! Kan setiap bulan ada teman-teman sekampung yang suka bawa truk juga. Atau ada juga teman-teman jamu yang mau pulang. pokoknya siapa saja. Nah, uang itu saya titipkan.”
“Yakin uang itu bakal sampai ke rumah di kampung?” justru aku yang tak yakin.
“Yakin, mas. Lha wong dari dulu, kita ini sering begitu. Orang-orang sekampung itu saling percaya, mas. Ndak seperti orang kota.” Jawabnya penuh keyakinan.
“Cara nge-ceknya gimana, kalau uang itu yakin sampai?” selidikku.
“Ndak usah di cek, mas! Pokoknya kalau sesama orang sekampung, pasti percaya!” ia tetap bertahan pada keyakinannya.
“Hebat! Bisa saling percaya seperti itu.” Pujiku.
“Yach, yang namanya orang kampung, sederhana saja, mas. Kalau yang namanya titipan, pasti sampai. Karena kalau tidak sampai, ndak bakalan dipercaya lagi. Malu dengan orang sekampung.”
Kehidupan yang keras buat mbak Yuni yang lemah lembut. Ia mengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menghidupi anaknya. Tidak jarang ia dikira mau-mau saja melayani lelaki hidung belang. Bagi mbak Yuni, resiko pekerjaannya memang seperti itu, dikira perempuan gampangan. Memang ada beberapa teman seprofesinya yang tak bisa menolak bujuk paksa lelaki iseng. Tapi tidak baginya. Ia selalu kuat untuk menghindari segala hal yang bisa merusak nilai perjuangan hidupnya.
Setiap pekerjaan memang memiliki resiko. Begitupun dengan pekerjaan kita, dimana saja kita bekerja, selalu saja ada godaan untuk melakukan hal-hal yang asusila. Kita bisa belajar dari keteguhan hati seorang penjual jamu, untuk tetap berjuang bagi mereka yang dicintainya di rumah.

Related

Sketsa Jakarta 883031787339714855

Post a Comment

emo-but-icon

Hot in week

Advertising

Advertising

Advertising

Advertising

advertising

advertising

Follow Us


profmag1

Carmelita Hartoto

video

Video 2

Contact Us

Name

Email *

Message *

item