Serengan Kampung Blankon
https://jakartainside.blogspot.com/2016/03/serengan-kampung-blankon.html
Bagi masyarakat
Jawa, Blangkon merupakan salah satu identitas budaya, tutup kepala yang
terbuat dari kain batik ini selain menjadi pelengkap pakaian awalnya
juga menjadi ciri kelas masyarakat. Namun sekarang Blangkon menjelma
menjadi salah satu produk konveksi yang banyak diminati wisatawan.
Salah satu kampung di Serengan
Solo sejak lama mendeklarasikan diri sebagai kampung Blangkon, karena
hampir sebagian besar warganya berprofesi sebagai perajin blangkon. Dalam
menjalankan usahanya mereka juga membentuk Paguyuban Perajin Blangkon.
Blangkon di Solo sudah berlangsung sejak masa pra kemerdekaan. Konon, di Notoningratan, Kalurahan Serengan ada seorang seorang pengrawit (penabuh gamelan karawitan) dari yang bernama mbah Joyo. Awalnya beliau mendapatkan pesanan dari Keraton untuk membuat blangkon untuk punggawa keraton. Blangkon pertama yang dibuat berupa model Solo Cekok. Ketrampilan Mbah Joyo ini yang kemudian diwariskan secara turun temurun.
Sebagai sebuah karya seni, blangkon
ini dibuat dengan ketelitian tingkat tinggi dengan mempertimbangkan siapa yang
akan memakai blangkon tersebut, sehingga untuk membuat 1 buah blangkon
membutuhkan waktu 3 – 7 hari. Dengan pertimbangan ekonomi dan pelestarian
budaya kemudian mbah Joyo mengajarkan pembuatan blangkon ini kepada para
keluarganya. Tidak semua mampu bertahan untuk membuat blangkon, karena
kerajinan ini membutuhkan ketelatenan,, sementara waktu itu konsumen blangkon
terbatas kalangan keraton.
Namun, sejak tahun 1970-an,
beberapa ahli waris dari mbah Joyo, mulai mencoba memasarkan
blangkon kepada masyarakat luar kraton, dan ternyata pasar blangkon mulai
berkembang. Beberapa wisatawan domestic dan mancanegara tertarik mengkoleksi
blangkon sebagai salah satu souvenir ketika mereka berwisata di Solo. Sejak
itulah industri Blangkon di Serengan mulai berkembang. Beberapa warga
setempat yang semula tak tertarik dengan blangkon pun akhirnya mulai berbisnis
balngkon sehingga sampai saat ini Kampung Serengan terkenal sebagai
Kampung Blangkon.
Sugianto (53 tahun) salah seorang perajin dari
Karang Sewu mengungkapkan bahwa proses pembuatan Blangkon tidaklah
sesulit yang di kira, pada intinya adalah tempel menempel batik ke
"cetakan" batok, namun hal yang terlihat sangat mudah ini ternyata
membutuhkan ketelitian serta kecekatan tangan untuk mendapatkan sebuah hasil
yang rapi" Satu blankon selesai sekitar sebulan" ungkap
Sugiyanto.
Ditambahkan Sugiyanto, proses
membuat Blangkon terdiri dari beberapa tahap . Awalnya kain dipotong sesuai
dengan pola yang ada, kemudian di lem untuk dibuat miru. Proses selanjutnya,
perajin membuat waton, tutupan,mondolan, sumpel. Setelah itu , proses
selanjutnya adalah Ngireng ( bikin dasaran hitam ), dan
dilanjutkan dengan membuat congkeng. Setelah Nyetak : congkeng,
kertas, kudungan, miron, waton, tutupan, mondolan serta sumpel maka Blangkon di
jemur, agar bentuknya stabil.
Oleh karena itu, di Kampung Serengan ini banyak kita jumpai
puluhan Blangkon yang berjajar di halaman rumah. Sebab, sebagian
besar perajin blangkon telah memiliki ruang kerja tersendiri. Sebagian pekerja
yang masih bermukim di sekitaran kampung mengerjakannya di rumah. Memanfaatkan
ruang keluarga untuk menjadi ruang workshop. Bahkan disepanjang, jalan di
Kampung difungsikan juga sebagai showroom Blangkon, sehingga
membuat wajah kampung menjadi semakin menarik. Puluhan Blangkon terhampar
ditepi jalan dengan pola dan ukuran yang bervariasi.
Bangkon ini banyak diproduksi oleh
home industri pengrajin Blangkon dikampung Potrojayan dan Makam Bergolo di
Kelurahan Serengan Surakarta oleh sekitar belasan pengrajin yang rata-rata
mempekerjakan 3-10 orang karyawan . Adapun produksi harian mencapai
50-200 buah blangkon dari satu rumah produksi,
Menurut Ny. Margono, pengrajin
blangkon di Potrojayan, setiap harinya dia memproduksi sebanyak 50 buah
Hasil produksi ini dipasarkan di kota-kota sekitar solo seperti :
Jogja,Magelang sampai dengan Jawa Barat. Oleh karena itu, selain blangkon
Jawa ( gaya Jogja- Solo ), Ny. Margono juga memproduksi blangkon gaya
Sunda. Oleh karena itu, pihaknya mempekerjakan 4 orang karyawan yang
diupah secara harian.
Selain mengerjakan blangkon untuk
dewasa, Ny. Margono juga mengerjakan blangkon untuk anak-anak. Adapun
harga blangkon untuk anak-anak berkisar antara Rp.7 ribu sampai Rp.10 ribu,
Konsumen blangkon ini biasanya adalah murid-murid TK dan SD. Pada saat
musim wisuda TK dan SD maka blangkon anak-anak ini sangat laku, karena ada
beberapa sekolah yang mempunyai tradisi wisuda lulusan dengan memakai pakaian
tradisional. Begitu juga jika musim peringatan Hari Kartini, juga penjualan
meningkat karena anak-anak sekolah wajib mengenakan pakaian tradisional.
Sementara itu, blangkon untuk orang
dewasa berkisar antara Rp. 35 ribu sampai Rp.75 ribu. Harga ini juga tergantung
dari kwalitas blangkon. “ Harga tersebut tergantung kwalitasnya
juga mas, kalau blangkon kasar ya lebih murah dibandingkan dengan blangkon
alusan, “ ujar Ny. Margono.
Yang dimaksud dengan blangkon kasar
adalah blangkon yang terdiri dari potongan kain yang tidak diwiru, sedangkan
blangkon alusan terdiri dari satu lembar kain yang diwiru. Karena terdiri dari
satu lembar kain ini maka blangkon yang alusan menjadi lebih awet dibandingkan
dengan blangkon yang kasaran.
Blangkon
Kreasi Baru Semakin Di buru
Blangkon pada prinsipnya terbuat
dari kain iket atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar. Ukurannya
kira-kira selebar 105 cm x 105 cm. Yang dipergunakan sebenarnya hanya separoh
kain tersebut. Ukuran blangkon diambil dari jarak antara garis lintang dari
telinga kanan dan kiri melalui dahi dan melaui atas. Pada umumnya bernomor 48
paling kecil dan 59 paling besar.
Blangkon Solo dikenal juga dengan
sebutan Blangkon Trepes, Gaya ini merupakan modifikasi dari gaya
Yogyakarta yang muncul karena kebanyakan pria sekarang berambut pendek. Model
trepes ini dibuat dengan cara menjahit langsung mondholan pada bagian belakang
blangkon. Selain dari suku Jawa (sebagian besar berasal dari provinsi Jawa Tengah,
DIY, dan Jawa Timur), ada beberapa suku laindi Indonesia yang memakai iket
kepala yang mirip dengan blangkon jawa yaitu : suku Sunda (sebagian besar
berasal dari provinsi Jawa Barat dan Banten), suku Madura, suku Bali, dan
lain-lain. Hanya saja dengan pakem dan bentuk ikat yang berbeda-beda.
Dalam perkembangannya, Blangkon Solo
tampil lebih unik. Blangkon ini berusaha mengadopsi kepentingan pasar yang
lebih pasar, sehingga blangkon Solo tak hanya tampil dalam lingkup formal.
Karena keunikannya, blangkon di Solo akhirnya tampil dalam beberapa
model. Oleh karena iktu, jika selama ini Blangkon dikenal sebagai
salah satu perlengkapan busana adat Jawa, namun di Solo, Jawa Tengah terdapat
pengrajin yang khusus membuat blangkon dengan kreasi baru. Tidak hanya
blangkon Jawa, blangkon untuk penggemar club motor maupun blangkon
berlogo parpol. Terobosan ini ditempuh sejumlah perajin agar
blangkon dapat diterima oleh masyarakat segala usia. Blangkon berlogo
parpol ini biasanya sangat ramai saat Pemilu atau event-event parpol yang
diselenggarakan di Solo.
Rudi salah seorang perajin
mengungkapkan bahwa, kreasinya membuat blangkon berlogo parpol dan klub
motor adalah karena adanya pesanan dari pelanggan. Awalnya hanya
beberapa, namun karena keunikannya ini maka akhirnya banyak pesanan yang datang
kepadanya. .
Seperti pengrajin lainnya,
blangkon kreasi baru ini dikerjakan di rumahnya di Kampung Jamsaren,
Serengan, Solo. Tidak hanya bercorak batik, Rudi juga mencoba kreasi blangkon
bordir dan blangkon motif modern. “ Ini agar blangkon tak hanya dapat
tampil dalam kegiatan formal tapi bisa menjadi pelengkap pakaian casual. “ ujar
Rudi.
Salah satu motif modern ini adalah
blangkon yang dibuat khusus bagi penggemar motor gede semacam Harley Davidson.
Kreasi ini mengkombinasikan karakter tradisional dengan semangat petualangan.
Blangkon jenis ini biasanya dipesan untuk souvenir oleh para penggemar moge.
Proses pembuatan blangkon ini
ternyata cukup rumit, terutama untuk blangkon bercorak batik. Setidaknya
pengrajin harus mengenal aneka motif batik, sehingga saat melipat kain motif
batiknya tetap kebalik. Rudi mengaku hanya meneruskan usaha blangkon milik
orangtuanya. Sebelumnya usaha ini dikelola sang kakek dan Rudi sendiri
merupakan generasi kelima. Selain Solo, blangkon hasil kreasinya dikirim ke
sejumlah kota, seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bali dan Sumatera. Soal
harga sangat variatif, mulai Rp.10 ribu hingga Rp.60 ribu ,
sedangkan untuk blangkon khusus, seperti Harley Davidson harganya berkisar
sekitar Rp.50 ribu rupiah sampai Rp.100 ribu per buah.