Serengan Kampung Blankon

Bagi masyarakat Jawa, Blangkon merupakan salah satu identitas budaya, tutup kepala yang terbuat dari kain batik ini selain menjadi pelengkap pakaian awalnya juga menjadi ciri kelas masyarakat. Namun sekarang Blangkon menjelma menjadi salah satu produk konveksi yang banyak diminati wisatawan.


Salah satu kampung di  Serengan Solo sejak lama mendeklarasikan diri sebagai kampung Blangkon, karena  hampir sebagian besar warganya  berprofesi sebagai perajin blangkon. Dalam menjalankan usahanya mereka juga membentuk Paguyuban  Perajin Blangkon.

Blangkon di Solo sudah berlangsung sejak masa pra kemerdekaan. Konon,  di Notoningratan, Kalurahan Serengan ada seorang   seorang pengrawit (penabuh gamelan karawitan) dari yang bernama mbah Joyo. Awalnya beliau mendapatkan pesanan dari Keraton untuk membuat blangkon untuk punggawa keraton. Blangkon pertama yang dibuat berupa model Solo Cekok. Ketrampilan Mbah Joyo ini yang kemudian diwariskan secara turun temurun.


Sebagai sebuah karya seni, blangkon ini dibuat dengan ketelitian tingkat tinggi dengan mempertimbangkan siapa yang akan memakai blangkon tersebut, sehingga untuk membuat 1 buah blangkon membutuhkan waktu 3 – 7 hari.  Dengan pertimbangan ekonomi dan pelestarian budaya kemudian mbah Joyo mengajarkan pembuatan blangkon ini kepada para keluarganya. Tidak semua mampu bertahan untuk membuat blangkon, karena kerajinan ini membutuhkan ketelatenan,, sementara waktu itu konsumen blangkon terbatas kalangan keraton.

 Namun, sejak tahun 1970-an,  beberapa ahli waris dari mbah Joyo,  mulai mencoba memasarkan blangkon kepada masyarakat luar kraton, dan ternyata pasar blangkon mulai berkembang. Beberapa wisatawan domestic dan mancanegara tertarik mengkoleksi blangkon sebagai salah satu souvenir ketika mereka berwisata di Solo. Sejak itulah industri Blangkon di Serengan mulai berkembang. Beberapa  warga setempat yang semula tak tertarik dengan blangkon pun akhirnya mulai berbisnis balngkon sehingga sampai saat ini  Kampung Serengan terkenal sebagai Kampung Blangkon.

 Sugianto (53 tahun)  salah seorang perajin dari Karang Sewu mengungkapkan bahwa  proses pembuatan Blangkon tidaklah sesulit yang di kira, pada intinya adalah tempel menempel batik ke "cetakan" batok, namun hal yang terlihat sangat mudah ini ternyata membutuhkan ketelitian serta kecekatan tangan untuk mendapatkan sebuah hasil yang rapi" Satu blankon  selesai sekitar sebulan" ungkap  Sugiyanto.
Ditambahkan Sugiyanto, proses membuat Blangkon terdiri dari beberapa tahap . Awalnya kain dipotong sesuai dengan pola yang ada, kemudian di lem untuk dibuat miru. Proses selanjutnya, perajin membuat waton, tutupan,mondolan, sumpel. Setelah itu , proses selanjutnya adalah  Ngireng  ( bikin dasaran hitam ),  dan dilanjutkan dengan   membuat congkeng. Setelah Nyetak : congkeng, kertas, kudungan, miron, waton, tutupan, mondolan serta sumpel maka Blangkon di jemur, agar  bentuknya stabil.

Oleh karena itu, di Kampung Serengan ini banyak kita jumpai puluhan Blangkon yang  berjajar di halaman rumah.  Sebab, sebagian besar perajin blangkon telah memiliki ruang kerja tersendiri. Sebagian pekerja yang masih bermukim di sekitaran kampung mengerjakannya di rumah. Memanfaatkan ruang keluarga untuk menjadi ruang workshop. Bahkan  disepanjang, jalan di Kampung difungsikan juga sebagai  showroom Blangkon, sehingga  membuat wajah kampung menjadi semakin menarik.  Puluhan Blangkon terhampar ditepi jalan dengan pola dan  ukuran yang bervariasi.
Bangkon ini banyak diproduksi oleh home industri pengrajin Blangkon dikampung Potrojayan dan Makam Bergolo di Kelurahan Serengan Surakarta oleh sekitar belasan pengrajin yang rata-rata mempekerjakan 3-10 orang karyawan . Adapun produksi  harian mencapai  50-200 buah blangkon dari satu rumah produksi,

Menurut Ny. Margono, pengrajin blangkon di  Potrojayan, setiap harinya dia memproduksi sebanyak 50 buah  Hasil produksi ini dipasarkan di kota-kota sekitar solo seperti : Jogja,Magelang sampai dengan Jawa  Barat. Oleh karena itu, selain blangkon Jawa ( gaya Jogja- Solo ), Ny. Margono juga memproduksi blangkon gaya Sunda.  Oleh karena itu, pihaknya mempekerjakan 4 orang karyawan yang diupah secara harian.

Selain mengerjakan blangkon untuk dewasa, Ny. Margono juga mengerjakan blangkon untuk anak-anak.  Adapun harga blangkon untuk anak-anak berkisar antara Rp.7 ribu sampai Rp.10 ribu, Konsumen blangkon ini biasanya adalah murid-murid TK dan SD.  Pada saat musim wisuda TK dan SD maka blangkon anak-anak ini sangat laku, karena ada beberapa sekolah yang mempunyai tradisi wisuda lulusan dengan memakai pakaian tradisional. Begitu juga jika musim peringatan Hari Kartini, juga penjualan meningkat karena  anak-anak sekolah wajib mengenakan pakaian tradisional.

Sementara itu, blangkon untuk orang dewasa berkisar antara Rp. 35 ribu sampai Rp.75 ribu. Harga ini juga tergantung dari kwalitas blangkon.  “ Harga tersebut  tergantung kwalitasnya juga mas, kalau blangkon kasar ya lebih murah dibandingkan dengan blangkon alusan, “ ujar Ny. Margono.

Yang dimaksud dengan blangkon kasar adalah blangkon yang terdiri dari potongan kain yang tidak diwiru, sedangkan blangkon alusan terdiri dari satu lembar kain yang diwiru. Karena terdiri dari satu lembar kain ini maka blangkon yang alusan menjadi lebih awet dibandingkan dengan blangkon yang kasaran. 

Blangkon Kreasi Baru Semakin Di buru

Blangkon pada prinsipnya terbuat dari kain iket atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar. Ukurannya kira-kira selebar 105 cm x 105 cm. Yang dipergunakan sebenarnya hanya separoh kain tersebut. Ukuran blangkon diambil dari jarak antara garis lintang dari telinga kanan dan kiri melalui dahi dan melaui atas. Pada umumnya bernomor 48 paling kecil dan 59 paling besar.

Blangkon Solo dikenal juga dengan sebutan Blangkon  Trepes,  Gaya ini merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang muncul karena kebanyakan pria sekarang berambut pendek. Model trepes ini dibuat dengan cara menjahit langsung mondholan pada bagian belakang blangkon. Selain dari suku Jawa (sebagian besar berasal dari provinsi Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur), ada beberapa suku laindi Indonesia yang memakai iket kepala yang mirip dengan blangkon jawa yaitu : suku Sunda (sebagian besar berasal dari provinsi Jawa Barat dan Banten), suku Madura, suku Bali, dan lain-lain. Hanya saja dengan pakem dan bentuk ikat yang berbeda-beda.

Dalam perkembangannya, Blangkon Solo tampil lebih unik. Blangkon ini berusaha mengadopsi kepentingan pasar yang lebih pasar, sehingga blangkon Solo tak hanya tampil dalam lingkup formal. Karena keunikannya, blangkon di Solo akhirnya tampil dalam beberapa model.  Oleh karena iktu, jika selama ini  Blangkon dikenal sebagai salah satu perlengkapan busana adat Jawa, namun di Solo, Jawa Tengah terdapat pengrajin yang khusus membuat blangkon  dengan kreasi baru. Tidak hanya blangkon Jawa, blangkon untuk penggemar club  motor maupun blangkon berlogo parpol.  Terobosan ini ditempuh sejumlah perajin  agar blangkon dapat diterima  oleh masyarakat segala usia. Blangkon berlogo parpol ini biasanya sangat  ramai saat Pemilu atau event-event parpol yang diselenggarakan di Solo.

Rudi salah seorang perajin mengungkapkan bahwa, kreasinya membuat blangkon  berlogo parpol dan klub motor adalah karena adanya pesanan dari pelanggan.  Awalnya hanya beberapa, namun karena keunikannya ini maka akhirnya banyak pesanan yang datang kepadanya. .

 Seperti pengrajin lainnya, blangkon kreasi baru ini dikerjakan di rumahnya  di Kampung Jamsaren, Serengan, Solo. Tidak hanya bercorak batik, Rudi juga mencoba kreasi blangkon bordir dan blangkon motif modern.  “ Ini agar blangkon tak hanya dapat tampil dalam kegiatan formal tapi bisa menjadi pelengkap pakaian casual. “ ujar Rudi.

Salah satu motif modern ini adalah blangkon yang dibuat khusus bagi penggemar motor gede semacam Harley Davidson. Kreasi ini mengkombinasikan karakter tradisional dengan semangat petualangan. Blangkon jenis ini biasanya dipesan untuk souvenir oleh para penggemar moge.

Proses pembuatan blangkon ini ternyata cukup rumit, terutama untuk blangkon bercorak batik. Setidaknya pengrajin harus mengenal aneka motif batik, sehingga saat melipat kain motif batiknya tetap kebalik. Rudi mengaku hanya meneruskan usaha blangkon milik orangtuanya.  Sebelumnya usaha ini dikelola sang kakek dan Rudi sendiri merupakan generasi kelima. Selain Solo, blangkon hasil kreasinya dikirim ke sejumlah kota, seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bali dan Sumatera. Soal harga sangat variatif, mulai  Rp.10 ribu  hingga Rp.60 ribu , sedangkan untuk blangkon khusus, seperti Harley Davidson harganya berkisar sekitar Rp.50 ribu rupiah sampai Rp.100 ribu  per buah.

Rudi mengungkapkan bahwa salah satu penggemar blangkon kreasi baru adalah anak-anak muda seperti para mahasiswa. Mereka merasa lebih nyentrik jika mengenakan blangkon, karena dengan berblangkon mereka merasa benar-benar menjadi orang Solo. “ Mungkin mereka merasa lebih percaya diri jika mengenaka blangkon, “ tandas Rudi.  ( sulistyawan )

Related

Jalan - Jalan 4987592342154464045

Post a Comment

emo-but-icon

Hot in week

Advertising

Advertising

Advertising

Advertising

advertising

advertising

Follow Us


profmag1

Carmelita Hartoto

video

Video 2

Contact Us

Name

Email *

Message *

item